Petualangan Seru Yogyakarta-Semarang Bersama SUV Mercedes-Benz
Reporter
Tempo.co
Editor
Wawan Priyanto
Jumat, 18 Januari 2019 17:41 WIB
Goa Jomblang
Esoknya, kami melanjutkan perjalan menuju Goa Jomblang yang berada di Desa Jetis Wetan, Pacarejo, Semanu, Gunungkidul. Jaraknya lumayan jauh dari hotel tempat kami menginap, sekitar 100 kilometer dengan waktu tempuh hampir 3 jam.
Tempo bersama teman dari Liputan6.com tidak lagi mengendarai GLA 200 AMG Line. Kami gantian menggemudikan Mercedes-Benz GLC 200 AMG Line. GLC 200 AMG Line merupakan mobil yang cukup menyenangkan untuk dikendarai. Rival dari Audi Q5, Lexus NX, dan BMW X3 ini memiliki handling dan kenyamanan yang cukup bisa diandalkan. Mobil ini ditenagai mesin 1.991 cc dengan output 184HP. Tenaga mesin ini disalurkan ke roda penggerak melalui transmisi otomatis 9G-TRONIC 9-Speed. Cukup bertenaga dan responsip saat berakselerasi.
Impresi kami, mengendarai mobil seharga Rp 985 juta (off the road) ini sangat berbeda dengan saat kami menjajal GLA 200 AMG Line di hari pertama. GLC 200 AMG Line memiliki kesenyapan kabin yang lebih baik. Bantingan suspensinya juga terasa lebih nyaman. Nyaris tanpa suara dan minim guncangan saat melintasi permukaan jalan yang tidak rata.
Goa Jomblang merupakan obyek wisata yang masih baru di Gunungkidul. Goa ini mulai ramai dikunjungi wisatawan pada 2010. Tahun 2012, goa ini mulai digarap secara profesional. Goa dengan kedalaman 60 meter ini berada di desa yang cukup terpencil, namun akses menuju lokasi ini sudah cukup baik. Masih jalanan berbatu tapi lebih rata dibanding jalan akses menuju Pantai Widodaren.
Kembali ke goa, di sekitar lokasi sudah dibangun beberapa bangunan yang kemungkinan besar dapat dimanfaatkan untuk beristirahat bagi wisawatan. Atau bahkan bisa untuk menginap bagi yang ingin bermalam.
Wisatawan harus turun ke dalam goa sedalam 60 meter ini untuk dapat menikmati 'cahaya surga’. Ya, cahaya surga merupakan istilah untuk melihat cahaya matahari menembus rimbunnya hutan jati di sekitar lubang gua di sebelah dalam. Di dasar goa, terdapat aliran sungai bawah tanah. Aliran sungai ini berada sekitar 100 meter dari titik pendaratan.
Untuk mencapai pinggir aliran sungai ini, wisatawan melintasi dasar goa yang lembab dan berlumpur. Tenang, wisatawan akan dibekali dengan sepatu boots. Wisatawan juga akan dipandu beberapa petugas terampil.
Gatot, salah satu petugas yang berjaga di dasar goa, menceritakan bahwa Goa Jomblang mulai dilirik wisatawan mancanegara dan lokal. “Tapi saat ini yang berkunjung masih banyak yang dari mancanegara,” katanya.
Cahaya surga hanya akan muncul dalam beberapa kesempatan, sekali muncul, sekitar 1 menit. Cahaya ini akan menerangi dasar gua dan menyajikan pemandangan yang menakjubkan. Stalaktit dan stalaknit yang terbentuk sejak ribuan tahun silam akan terlihat dengan jelas.
Warna-warni cahaya surga menjadi lebih dramatis dengan uap air yang kemungkinan berasal dari derasnya aliran sungai bawah tanah di dasar goa. Pemandangan indah ini rasanya cukup sepadan dengan biaya yang harus dikeluarkan, yakni sebesar Rp 500 ribu per orang. Oh iya, jam 11.00 WIB merupakan batas terakhir wisatawan turun ke dasar goa dan harus naik ke atas sebelum jam 15.00 WIB. Sebab, cahaya matahari sebagai obyek wisata utama di dalam goa hanya muncul di antara jam-jam tersebut. Lebih tepatnya di jam 12.00-13.00 WIB.
Goa Jomblang menjadi satu-satunya destinasi wisata yang kami kunjungi di hari kedua Mercedes-Benz Hungry for Adventure 2019. Sore hari sekitar pukul 15.00 WIB kami meninggalkan goa menuju Plataran Heritage, tempat kami menginap. Sebenarnya inilah waktu yang kami tunggu-tunggu, mengendarai SUV Mercedes-Benz di jalanan dengan lalu lintas yang lumayan padat. Hasilnya, sama sekali tak membosankan. Alunan musik bergenre pop rock menjadi teman kami sepanjang 3 jam perjanan pulang.
Suasana hujan membuat kami mesti semakin waspada dalam mengemudi. Beruntung, SUV GLC 200 AMG Line mengalami sejumlah update pada November 2018. Salah satunya dengan menyematkan Blind Spot Assist yang mampu memberikan peringatan ketika ada obyek di sekitar mobil, seperti misalnya sepeda motor di sisi samping kiri maupun kakan. Fitur ini cukup membantu pengemudi agar lebih waspada.
Malam kami sampai di hotel. Setelah makan malam, kami manfaatkan untuk istirahat karena esok pagi-pagi sekali kami harus bersiap untuk memulai petualangan di destinasi selanjutnya.
Selanjutnya Candi Borobudur
<!--more-->
Candi Borobudur
Tepat pukul 04.00 WIB alarm di smartphone berbunyi, membangunkan saya yang masih lelap di balik selimut tebal. Pagi ini destinasi penting yang harus kami kunjungi adalah Candi Borobudur. Candi yang diperkirakan dibangun pada tahun 800 Masehi. Misinya, menyambut matahari terbit atau istilah kerennya sunrise.
Beruntung, pagi itu cuacanya sangat cerah. Bahkan menjadi pagi yang cerah setelah beberapa sebelumnya selalu diguyur hujan. Tepat pukul 05.36 matahai mulai muncul di ufuk timur candi. Indah, dengan langit warna merah terang. Di puncak candi, tepatnya di sisi timur yang menghadap Gunung Merapi, banyak sekali wisawatan yang mengabadikan momentum indah ini. Kebanyakan wisatawan dari mancanegara.
Selain matahari terbit yang eksotis, kami mendapatkan tumpangan yang sangat istimewa, yakni mengendarai Mercedes-AMG G 63 Edition 1. Mobil ini merupakan top of the line dari keluarga SUV Mercedes.
Menggendong mesin 4.0L biturbo berkonvigurasi V8 dengan output 585HP dan torsi 850 Nm. Dari semua mobil SUV Mercedes-Benz yang diboyong ke Yogyakarta, inilah yang paling mahal. Maret nanti mulai dipasarkan dengan harga (off the road) Rp 5,459 miliar. Hanya saja, model yang akan meluncur di Indonesia nantinya adalah versi standar. “Tapi konsumen dapat melakukan customize sendiri menjadi Edition 1,” kata Raditya Airlangga, Product Planning Manager PT MBDI. Well, rasanya mobil ini banyak masuk dalam wishlist mereka para penggila SUV.
Tak banyak waktu di hari terakhir yang kami lewatkan. Pukul 07.00 kami kembali hotel. Satu jam berikutnya, kami langsung melanjutkan perjalanan menuju destinasi selanjutnya yakni Curug Lawe di Desa Kalisidi, Ungaran Barat, Semarang. Sayangnya, hujan deras menyambut kami begitu sampai di parkiran tepat di tengah hari. Misi untuk menikmati keindahan air terjun dengan suasana alami di kaki Gunung Ungaran ini terlewatkan.
Meski kecewa, tapi saya cukup puas menikmati perjalanan sekitar 2 jam 40 menit dengan jarak 92 kilometer. Saya mengendarai SUV Mercedes-Benz GLC 250d. Mobil ini dibekali mesin 4 silinder turbodiesel berkapasitas 2.143cc.
Mesin ini sanggup menghasilkan tenaga sebesar 204 HP pada 3.800 rpm dengan torsi 500 Nm. Mobil ini dipasarkan dengan harga Rp 1,289 miliar (off the road). Meski bertubuh bongsor, handling mobil ini cukup mudah. Bermanuver tajam bukan menjadi masalah berarti. Batal menyusuri air terjun, kami langsung menuju Bandar Udara Internasional Ahmad Yani, Semarang, dan kembali ke Jakarta.
Simak video test drive Mercedes-AMG G 63 Edition 1