TEMPO.CO, Jakarta - Pakar otomotif Institut Teknologi Bandung Tri Yuswidjajanto Zaenuria mengungkapkan sejak 2003 ketika Indonesia menerapkan standar emisi Euro 2, tidak ada mobil yang diproduksi untuk mengkonsumsi BBM Ron 88 atau bensin premium.
Penerapan standar emisi Euro 2 di Indonesia yang mengacu pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 141/2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor bertujuan mengendalikan pencemaran udara. “Sejak 2003 ketika kita menerapkan Euro 2 sudah tidak ada kendaraan yang cocok dengan Premium, sama sekali tidak ada yang cocok. Lihat aja spesifikasi bahan bakar Euro 2 tidak ada Ron 88, minimum Ron 91,” ujarnya seperti dikutip Bisnis, Selasa pekan lalu 26 Juli 2018.
Baca: Pertalite Digunakan di Motor Keluaran Lama, Ini Kata Komunitas
Tri mengungkapkan, jika mobil keluaran produksi 2003 menggunakan Premium, maka kerja mesin tidak akan optimum sehingga merusak mesin. Selain itu, penggunaan Premium sudah melanggar ketentuan Euro 2. “Waktu kasus tahun 2010 banyak mobil rusak karena saluran BBM berkerak, tidak ada pengguna Pertamax yang kena, hanya yang pakai Premium. Kemudian ribut, yang disalahin malah Pertamina,” ujarnya.
Selain itu, penggunaan Premium menimbulkan kerugian lingkungan yang sangat besar. Kualitas udara yang buruk menimbulkan beban kesehatan bagi masyarakat yang besar. Polusi dapat memicu penyakit kanker, paru-paru dan lainnya. Penegakkan penggunaan BBM sesuai dengan spesifikasi mobil, lanjutnya, juga memerlukan bantuan pihak Kepolisian. Pasalnya, banyak pemilik kendaraan yang menurunkan spesifikasi mobilnya.
“Banyak yang men-downgrademesinnya, misal konverternya dicabut, mobil pakai Premium. Mestinya dijalan ditilang yang seperti ini. Kemudian, setiap tahun ketika akan membayar pajak harus uji emisi, jika tidak lolos tidak bisa bayar pajak, seperti di luar negeri,” tuturnya.
Baca: Produk Baru Total Tantang Pertalite Buatan Pertamina, Harganya...
Menurutnya, jika pemerintah mau meningkatkan kesadaran lingkungan pada masyarakat, dibutuhkan penegakkan hukum yang tegas. Dengan demikian, secara perlahan masyarakat akan menyadari pentingnya menjaga lingkungan.
Dalam kesempatan terpisah, Nafiz, Ketua klub mobil JazzFit Chapter Medan mengungkapkan penggunaan premium memang hanya cocok untuk mobil yang diproduksi sebelum tahun 2000-an. Adapun mobil keluaran setelahnya dianjurkan untuk setidaknya menggunakan Pertalite. "Jadi kalau menurut saya, mobil yang sudah menggunakan injeksi lebih baik pertalitekeatas," katanya kepada Bisnis.
Baca: Indonesia Punya Bahan Baku Utama Pembuatan Baterai Mobil Listrik
Kendati tak ada kerugian jangka pendek yang ditimbulkan akibat penggunaan premium, berbeda halnya untuk penggunaan jangka panjang. Konsumsi premium oleh mobil bermesin injeksi akan berdampak pada penurunan tenaga mobil dalam jangka panjang.
Pasalnya, premium lebih cepat meninggalkan kerak hitam pada ruang mesin mobil. Hal inilah yang kemudian membuat turunnya performa atau tenaga. Sementara penggunaan pertamax, di sisi lain hanya meninggalkan warnanya yang biru.
Di samping itu, kendati harga pertalite dan pertamax lebih tinggi dibanding premium, hal ini diimbangi dengan jarak jelajah yang juga lebih jauh. Nafiz mencontohkan, jika per 10 liter premium bisa menjelajah hingga 100 kilometer (km) maka diprediksi dengan volume yang sama pertalite dan pertamax masing-masing bisa menempuh 110 kilometer dan 120 kilometer.