TEMPO.CO, Jakarta - Serapan tenaga kerja industri kendaraan listrik atau mobil listrik berpotensi lebih rendah dibandingkan industri otomotif konvensional. Hal tersebut disebabkan sedikitnya industri turunan dari kendaraan listrik.
Direktur Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan kepada Bisnis, pengembangan industri kendaraan listrik potensial seiring meningkatnya permintaan tetapi terdapat efek samping soal serapan tenaga kerja.
Baca: Mobil Listrik Digencarkan, Ini Kelebihan dan Kekurangannya
Faisal menjelaskan terdapat sekitar 11.000 komponen kendaraan dalam industri otomotif konvensional yang akan digarap industri turunannya, sedangkan industri kendaraan listrik memiliki sekitar 3.000 komponen.
Sedikitnya industri turunan dari industri kendaraan listrik membuat rendahnya serapan tenaga kerja tersebut. Terlebih terdapat kemungkinan pergeseran industri dari kendaraan konvensional ke kendaraan listrik, sehingga serapan tenaga kerja perlu menjadi perhatian.
"Tingkat multiplier effect industri turunan (kendaraan listrik) lebih kecil, serapan tenaga kerja lebih kecil. Ini perlu diantisipasi," ujar Faisal.
Meskipun begitu, Faisal menjelaskan industri kendaraan listrik serta komponennya seperti baterai potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Faisal menjelaskan industri tersebut harus berorientasi ekspor karena Indonesia masih mengalami masalah kemacetan serta potensialnya pasar ekspor seiring pertumbuhan permintaan.
Baca: Hyundai dan Grab Ingin Bangun Pabrik Mobil Listrik di Indonesia
Berdasarkan riset Posco penjualan kendaraan listrik secara global pada 2019 diproyeksikan mencapai 4 juta unit atau lebih meningkat 103,04 persen dibandingkan 2018 sebanyak 1,97 juta unit. Capaian 2018 tersebut meningkat 50,25 persen dibandingkan pada 2017 sebanyak 980.000 unit.