TEMPO.CO, Jakarta - Setelah melihat beberapa review tentang Mitsubishi Xpander, saya akhirnya menerima tantangan untuk test drive tunggangan andalan Mitsubishi tersebut sembari melakukan liputan mudik Lebaran 2019 dengan rute Jakarta-Sumatera Barat-Jakarta.
Baca: Mitsubishi Xpander Buatan Indonesia Laris Manis di Brunei
Ada keraguan pada awalnya, setelah saya menerima unit Mitsubishi Xpander Sport versi matik. Terbayang jalur Sumatera yang tidak ramah untuk mobil matik. Jalur pegunungan dan menurun yang panjang dan berulang, tikungan-tikungan patah dan pendek, serta jalur-jalur sempit, namun panjang dan acap kosong, yang menggoda untuk tancap gas, sementara tetap dituntut kewaspadaan tinggi.
Sementara penyerahan mobil dan jadwal keberangkatan yang mepet, membuat saya tidak punya banyak waktu untuk membaca buku manual dan mengecek kondisi mobil keseluruhan. Modal saya cuma tanya-tanya ke teman sekadarnya. Sebagaimana kebiasaan saya, karena tidak menemukan kunci baut, saya membawa sendiri, juga tang dan aksesoris seperti cutter untuk memotong.
Pertama merasakan suspensi dan pengereman di jalur tol Jakarta membuat perasaan saya mulai mantap. Dukungan suspensi depan MacPherson Strut dan suspensi belakang Torsion Beam membuat cukup nyaman untuk pengendalian dan menikmati perjalanan. Rem yang lembut dan responsif melengkapi keandalan sistem ini. Performa mesin 1499 cc dengan tenaga 103 hp juga cukup mendukung.
Mitsubishi Xpander mendaki Puncak Lawang, Maninjau, Sumatera Barat. Tempo/Erwin Z
Namun demikian, saya tidak ingin terlena, karena ujian sesungguhnya adalah di lintasan Sumatera.
Karena tidak sempat mengelaborasi fitur-fitur mobil, saya mencatat data-data perjalanan secara manual untuk dievaluasi. Sebagai pencatatan awal, saya mencatat kilometer sebelum keberangkatan dari rumah di kawasan Tangerang Selatan.
Selama perjalanan, saya juga mengumpulkan semua print out pengisian BBM. Sayangnya karena tidak semua SPBU di Sumatera menyediakan Pertamax, bahan bakar pun bercampur dengan Pertalite.
Turun di Pelabuhan Bakauheni, Lampung, adalah ujian pertama Xpander. Memasuki tol baru Bakauheni-Terbanggi besar, saatnya menguji keandalan mesin. Di jalur yang kadang mendaki dan kadang menurun itu, tenaga responsive Xpander menunjukkan kelasnya di kecepatan tinggi sekitar 140-150 km/jam.
Saya hanya menguji sebentar dan mengecek penggunaan BBM mobil dan keandalan suspensi serta rem. Pada kecepatan tinggi tersebut, mobil berada di luar mode eco, sehingga penggunaan bahan bakar lebih boros. Bagi pengguna mobil matik, indikator BBM eco akan bermanfaat untuk mengatur penggunaan BBM dengan lebih hemat. Namun, karena ini Lintas Sumatera, seringkali saya harus mengabaikan mode hemat itu, dan terpaksa berulang kali menggunakan persneling 2 atau L.
Jalur Lampung, Sumatera Selatan, dan Jambi adalah relatif ringan untuk Xpander. Dengan tenaga yang responsif, suspensi yang empuk, tidak melelahkan bagi saya yang sedang berpuasa untuk mengemudi.
Namun demikian, ada sedikit ganjalan saat melewati Lahat-Tebingtinggi-Lubuklinggau ketika senja memasuki malam. Lampu Xpander terasa kurang terang di kawasan yang terkenal rawan itu. Kondisi bertambah buruk karena hujan turun. Untunglah iringan kendaraan tidak berhenti, dan saya pun mengandalkan mobil di depan untuk melanjutkan perjalanan.
Memasuki Sumatera Barat adalah medan ujian Xpander yang sesungguhnya. Seperti pengalaman-pengalaman saya sebelumnya, saya merasa jalur Sumatera Barat seperti jalur balapan. Padahal medannya tidak mudah. Menyusuri jalur mendaki dan menurun di Bukit Barisan yang bersisian dengan tebing-tebing curam, sementara cuaca juga tidak bersahabat, diiringi hujan deras.
Mitsubishi Xpander di Ngarai Sianok, Sumatera Barat. Tempo/Erwin Z
Pada kondisi ini, seringkali saya menginjak gas lebih dalam untuk secepatnya mendapatkan akselerasi yang pas sehingga dapat menyusul kendaraan di depan yang enggan dilewati. Jadi, tinggalkan mode eco sementara waktu.
Medan bergunung juga memaksa saya menggunakan gigi 2 untuk menaiki bukit dan juga memanfaatkannya sebagai pengereman. Hal ini saya lakukan di jalur Sitinjau Laut, Padang, dan juga di jalur Kelok 44 Maninjau. Bahkan di kawasan Puncak Lawang, Maninjau, mau tidak mau kendaraan harus menggunakan gigi L, karena terjalnya pendakian. Tentu saja kondisi tersebut membuat penggunaan BBM menjadi lebih boros. Di luar itu, tidak ada kendala berarti.
Akhirnya, secara keseluruhan saya merasa cukup nyaman menikmati perjalanan ke Sumatera dengan Mitsubishi Xpander Sport matik ini. Suspensi yang mantap membuat berkendara tidak melelahkan. Dari catatan saya, perjalanan test drive ini menempuh 3.693 kilometer dan menghabiskan 335 liter BBM (umumnya Pertamax, atau Pertalite), yang berarti pemakaian BBM 1 liter per 11 kilometer. Bukan catatan yang buruk.
ERWIN ZACHRI