Perjalanan itu saya tempuh dengan sangat santai. Tidak memburu waktu, dan sesekali istirahat. Bahkan, kami sempat singgah di kediaman sastrawan Soni Farid Maulana di Ciamis, Jawa Barat, Kamis malam selepas buka puasa. Soni, selain bersastra, adalah mantan wartawan sebuah koran terbesar di Jawa Barat. Dulu tinggal di Bandung, dan baru beberapa tahun terakhir menetap di Ciamis. Sejumlah puisi Soni pernah dimuat di Koran Tempo. Kami dihadiahi banyak buku karya Soni dan isterinya, Heni Hendrayani, yang juga sastrawan.
Singgah di rumah sastrawan Soni Farid Maulana di Ciamis, Jawa Barat, Jumat, 31 Mei 2019. TEMPO/Mustafa Ismail.
Mobil saya kendarai selalu dalam kondisi mode Eco alias hemat bahan bakar. Pertama, saya tidak berani ngebut karena tidak terlalu mengenal medan. Kedua, saya sedang memantau perjalanan mudik, yang tentu saja banyak hal harus diperhatikan sambil jalan. Meskipun mobil ini asyik juga diajak ngebut di jalan naik-turun. Nah, jalan cepat itu justru saya lakukan setelah malam turun, dalam perjalanan dari Ciamis ke Purwokerto.
Ceritanya, saya ambil jalan alternatif, yang sepi, dan itu membuat saya terpacu untuk bergegas. Soalnya, jalur yang lazim digunakan macet hingga lima kilometer – menurut petunjuk peta lokasi Google. Saya berpikir, dari pada menyerah pada kemacetan, lebih baik mencari jalan lain yang longgar. Mobil pun dengan lincah melaju, naik-turun di jalan berbelok-belok di jalur tersebut pada malam itu. Jalan, tentu saja lebih sempit dibandingkan jalan yang menjadi jalur utama. Namun, semuanya bisa dilaju dengan asyik dan nyaman.
Satu lagi, saya mengiringi sebuah mobil di depan, yang saya duga arahnya sama dengan saya. Di perjalanan yang sepi punya teman barengan itu menjadi seperti durian runtuh. Apalagi ini jalanan naik-turun di pegunungan dan tidak ada penerangan cukup. Tak banyak rumah di kiri-kanan jalan. Saya benar-benar mengandalkan lampu mobil yang memang memadai. Tiba di sebuah pom bensin di sebuah kota kecil, mobil itu berbelok ke sana dan saya meneruskan perjalanan sendirian. Tapi tak apa, saya sudah berada di jalan ramai. Kembali ke jalur utama.
Saya tiba di Purwokerto lewat tengah malam. Saya sempat melihat plang arah ke Yogyakarta, tujuan lanjutan kami, namun kami memilih bermalam di Purwokerto. Sebelumnya, ketika berada di Ciamis, saya sudah memesan kamar di sebuah hotel sederhana di Purwokerto. Sempat berputar-putar tidak jelas dibawa oleh aplikasi peta lokasi, akhirnya kami tiba di hotel yang berada di salah satu jalan besar di kota itu. Kami istirahat, dan baru berangkat menuju Yogyakarta esok siang.
Menikmati malah di Malioboro, Yogyakarta, 2 Mei 2019. TEMPO/Mustafa Ismail.
Meski berbadan lumayan besar, menunggangi Innova dalam perjalanan itu cukup nyaman. Mobil ini bisa bermanuver dengan gesit, naik-turun jalan perbukitan, hingga jalan-jalan kecil. Esoknya, ketika berangkat dari Purwokerto menuju Yogyakarta, aplikasi peta lokasi mengarahkan kami ke jalan-jalan kampung, yang kecil, sebagian di persawahan, dan ada pula yang naik turun tajam. Sebagian jalan bahkan tidak mulus, meski begitu kami berenam di mobil tetap duduk nyaman sambil menikmati perjalanan.
Penggunaan bensin tergolong tak boros untuk ukuran 2000 cc dan bodi bongsor, plus macet ampun-ampunan di tol Cikampek, yakni sekitar 8 kilometer per liter. Saya tiga kali mengisi bensin Pertalite untuk tiba ke Yogyakarta, yakni sekitar 88 liter, itu pun masih sisa sedikit dan baru mengisi lagi sekitar Magelang. Dari Yogya, saya memang melintasi Magelang untuk melanjutkan perjalanan ke kampung isteri saya di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Di sinilah kami menghabiskan Ramadanm dan berlebaran.