TEMPO.CO, Jakarta - Tak ada alat canggih, tanpa nama bengkel dan apalagi ruangan khusus yang temperaturnya bisa diatur. Para tukang cat duco pinggir jalan hanya mengandalkan cahaya matahari dengan alat seperti kompresor, dan beberapa perlengkapan sederhana seperti, selotip kertas, kertas amplas, dan koran bekas.
"Penghasilan per hari tidak menentu, paling rendah itu masing-masing dari kami dapat Rp70 ribu sehari. Kalau agak ramai biasanya Rp150 ribu sampai Rp200 ribu," ujar Rustama, salah seorang tukang cat duco yang mangkal di Jalan Kramat Raya, kepada Tempo, Minggu, 4 Agustus 2019.
Rustama mengaku mulai mangkal di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, sejak tahun 1982. Sebelumnya, ia adalah penjaga parkir di salah satu bengkel spare parts di sekitar kawasan Kwitang, Jakarta Pusat.
"Tahun 1975, saya mulai kerja begini di sekitar tempat parkir saya. Nah tahun 1982 saya pindah ke sini (Jalan Kramat Raya, sekitar Kantor Pengurus Besar Nahdatul Ulama). Di sini, saya kerja sama dengan keluarga dan teman-teman dekat," ujar pria berambut gondrong yang akrab disapa Mong ini.
Mong dan sanak keluarganya sudah turun temurun menggeluti pekerjaan lepas ini. Pekerjaan yang hasilnya tidak menentu. Namun di balik itu, kerja serabutan ini pula yang membuatnya mampu bertahan hidup dan membesarkan empat orang anak.
Kini, Mong yang sudah berusia 71 tahun lebih banyak mengandalkan rekan kerjanya, yang kebanyakan adalah keponakan sendiri. Sesekali Mong terlihat mengamati sekaligus membantu dengan berdiri di pinggir jalan. Ya, Mong berdiri sambil berupaya meyakinkan calon pelanggan untuk menggunakan jasanya.
Selanjutnya: Ada kelemahan dibandingkan cat oven...