TEMPO.CO, Jakarta - Limbah baterai mobil listrik, termasuk di dalamnya mobil hybrid, merupakan limbah dengan definisi Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).
Meski demikian, di Indonesia sendiri belum memiliki teknologi atau fasilitas untuk menangani limbah baterai mobil listrik.
PT Toyota Astra Motor (TAM), agen pemegang merek (APM) Toyota di Indonesia, mengklaim sudah memikirkan pengelolaan limbah baterai dari mobil listrik yang mereka pasarkan di Indonesia.
“Salah satunya adalah dengan menggandeng universitas untuk daur ulang baterai mobil listrik,” kata Anton Jimmi Suwandy, Direktur Marketing PT Toyota Astra Motor di Surabaya beberapa waktu lalu.
Baterai mobil listrik, lanjut dia, juga bisa dimanfaatkan universitas untuk penelitian. Misalnya, untuk menampung energi dari panel surya atau sel baterai digunakan untuk penelitian dan sebagainya.
Anton mengakui limbah baterai mobil listrik memerlukan penanganan tersendiri. Di Jepang dan Thailand, kata Anton, Toyota sudah memiliki fasilitas untuk daur ulang limbah baterai mobil listrik. “Soal penanganan limbah baterai mobil listrik itu juga menjadi tanggung jawab kami,” ujarnya.
Sementara itu, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) menargetkan konsep terkait daur ulang baterai Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) atau mobil listrik rampung dirumuskan dalam waktu tiga tahun atau pada 2022.
Deputi Kepala BPPT Bidang Teknologi Informasi, Energi dan Material (TIEM) Eniya Listiani Dewi mengatakan jika implementasi KBL berbasis baterai lancar, maka dalam kurun waktu tersebut diprediksi sudah banyak kendaraan listrik yang beroperasi.
"Kami hanya mempunyai waktu sekitar tiga tahun," ucapnya, di acara penutupan Indonesia Electric Motor Show (IEMS), Sabtu, 7 September 2019.
Pasalnya, kata Eniya, begitu lebih dari tiga tahun, sampah baterai mobil listrik sudah akan banyak sekali.
"Terutama yang kecil-kecil, karena animonya ngoprek atau hobi, yang kecil-kecil ini banyak. Saya berharap dalam setidaknya tiga tahun kami sudah mempunyai konsep yang jelas untuk recycle," ujarnya.