TEMPO.CO, Yogyakarta - Layanan ojek yang dirintis penyandang difabel, Difa Bike asal Yogyakarta mengakui selama lima tahun beroperasi ini kerap merasa was-was terkait legalitas motor modifikasi yang mereka gunakan.
“Soal legalitas itu yang sekarang masih kami perjuangkan. Karena kalau legalitas kan motornya bukan modifikasi to?” ujar pendiri Difa Bike, Triyono saat ditemui Tempo di Kota Yogyakarta Rabu 26 November 2019.
Dari 26 driver yang tergabung dalam Difa Bike, seluruhnya menggunakan motor yang sudah dimodifikasi yang sudah disediakan Triyono.
Modifikasi motor yang biasanya dilakukan Triyonobukan pada jeroannya, melainkan sebagian besar untuk mempermudah posisi pengemudi yang merupakan penyandang difabel ringan dan kenayamanan penumpangnya dari kalangan disabilitas.
Mulai pedal gas yang dipindah ke bagian tangan kanan kalau untuk jenis motor matic,atau dipindah ke sebelah kiri sesuai kebutuhan pengemudi. Motor modifikasi tersebut dengan demikian hanya dapat dipergunakan oleh satu orang karena desain yang dibuat juga menyesuaikan jenis disabilitas yang dialami oleh orang tersebut.
Sedangkan hampir semua armada Difa Bike diberikan fasilitas side van atau boncengan samping dan beberapa disempuranakan ke bagian belakang. Ada pula tempat untuk menaruh kursi roda bagi difabel yang menggunakan kursi roda sehingga difabel yang hendak bepergian tidak perlu susah payah membawa kursi rodanya sendiri.
“Kami sebenarnya menunggu pihak ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek ) mengeluarkan unit unit transportasi resmi yang bisa doperasikan difabel ringan,” ujarnya.
Berkaca dari kebutuhan modifikasi motor yang ia keluarkan, Triyono mengungkap besarannya berkisar Rp 7-10 juta untuk modifikasi saja. Sehingga jika termasuk unit motornya biayanya satu unit moda Difa Bike butuh biya Rp 15-20 juta.
Triyono menuturkan walau beleid yang mengatur soal alat transportasi bagi disabilitas belum dimiliki pemerintah Indonesia secara rinci, namun dalam UU 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sudah sedikit menyinggung penyediaan aksesbilitas bagi difabel yang bisa dilakukan pemerintah dan pihak swasta.
“Swasta ini yang belum jelas, apakah OPD (organisasi penyandang disabilitas) atau social enterprise, agar geraknya bisa sampai ke ranah ekonomi,” ujarnya.