TEMPO.CO, Jakarta - Industri mobil Eropa dan Inggris sedang ketar-ketir. Pada Senin lalu, mereka meminta Eropa dan Inggris segera mencapai kesepakatan dalam perdagangan bebas setelah Inggris memutuskan hengkang dari Eropa.
Industri mobil memperingatkan bahwa keluarnya Inggris dari Eropa atau British Exit (Brexit) yang tidak teratur detil akan merugikan sektor tersebut hingga 110 miliar euro atau 130 miliar dolar (Rp 1.939 triliun).
Angka kerugian itu akibat perdagangan yang hilang selama lima tahun ke depan.
Kurang dari empat bulan sebelum masa transisi Brexit berakhir pada Desember nanti, pembicaraan Inggris dan Uni Eropa tentang kesepakatan perdagangan untuk 2021 memasuki masa krisis. Ini lantaran Inggris mengajukan rencana melanggar perjanjian perpisahan pada Januari 2020.
Seperti dikutip Auto Blog dari reuters pada Senin, 14 September 2020, kegagalan perjaniian Inggris - Uni Eropa akan menyebabkan tarif. Harga kendaraan menjadi lebih mahal dan menyebabkan penurunan permintaan yang bisa menghilangkan produksi 3 juta kendaraan selama lima tahun ke depan.
Itu dapat merugikan pabrik di Uni Eropa sebesar 57,7 miliar euro dan pabrik Inggris 52,8 miliar euro. Kekhawatiran tersebut disampaikan 23 asosiasi industri otomotif dalam pernyataan bersama pada Senin lalu.
"Angka-angka ini melukiskan gambaran suram dari kehancuran yang akan mengikuti Brexit jika tanpa kesepakatan," ucap Mike Hawes, Kepala Eksekutif Society of Motor Manufacturers and Traders (SMMT) Inggris.
Asosiasi yang menandatangani pernyataan itu termasuk SMMT, Asosiasi Produsen Mobil Eropa, Asosiasi Pemasok Otomotif Eropa, dan Asosiasi Industri Otomotif Jerman.
Brexit akan menghadapi tarif Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) diterapkan untuk perdagangan di seluruh Selat Inggris. Ini menambah tekanan pada industri mobil Eropa yang sudah terhuyung-huyung akibat pandemi Covid-19.
Tarif 10 persen ntuk mobil dan hingga 22 persen untuk truk dan van bakal memberatkan konsumen.
Penjualan mobil penumpang baru di Uni Eropa turun 38 persen pada paruh pertama 2020, dibandingkan periode yang sama 2019. Sedangkan di Inggris turun 49 persen.