TEMPO.CO, Jakarta - Institute for Essential Services Reform atau IESR telah melakukan studi mengenai penerapan kendaraan listrik di Indonesia. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa Indonesia perlu belajar dari tiga negara, yakni Norwegia, Amerika Serikat, dan Cina dalam pengembangan ekosistem kendaraan listrik.
Penulis studi Idoan Marciano menerangkan, pengembangan kendaraan listrik di Indonesia masih dalam tahap awal. Sehingga menjadi penting untuk belajar dari pengalaman negara lain yang lebih progresif.
“Oleh karena itu kami menyusun studi dengan tiga negara pembanding,” ujar dia dalam acara virtual, Selasa, 23 Februari 2021.
Idoan menjelaskan alasan mengapa tiga negara tersebut sebagai pembanding. Menurutnya, secara global, data hingga 2019 menyebutkan pangsa pasar kendaraan listrik mengalami peningkatan 10 persen stiap tahun.
Dan Norwegia, memiliki pangsa pasar lebih dari 50 persen pada tahun 2019, dengan total kendaraan listrik yang sudah digunakan sebanyak lebih dari 430 ribu unit. Sementara di Cina, total kendaraan listrik pada tahun tersebut mencapai lebih dari 3,4 juta unit, dan Amerika lebih dari 1,5 juta unit.
Sementara tingkat adopsi kendaraan listrik di Indonesia masih sangat kecil. “Sehingga, jika tidak mengalami peningkatan, maka target pada 2025 atau 2030 soal pengurangan kendaraan berbahan bakar fosil dan digantikan dengan kendaraan listrik tidak akan tercapai,” katanya.
Baca juga: Hore! Kendaraan Listrik Bebas Ganjil Genap di Jakarta
Dari segi infrastruktur, Idoan menyebutkan, juga jumlahnya masih jauh dari target yang ditentukan pemerintah. Hal ini terjadi karena berkaitan erat dengan perkembangan ekosistem kendaraan listrik dalam negeri yang baru dimulai
Menurut Idoan, Indonesia masih tertinggal dari seluruh aspek ekosistem. Mulai dari kebijakan, infrastruktur pengisian daya, industri atau rantai pasokan, kesadaran masyarakat, serta pasokan dan ketersediaan model.
Indonesia belum memiliki aturan batasan kendaraan berbahan bakar fosil. Ini berbeda dengan negara pembanding yang melarang kendaraan berbahan bakar fosil. Insfrastruktur Indonesia juga ketinggalan.
Baca: Di Norwegia, Mobil Listrik Lebih Laris Dibanding Mobil Bensin
“Perkiraan 2025 hanya mampu mencapai rasio 1:70 antara pengisian daya dan jumlah kendaraannya. Dan belum adanya kesadaran untuk meningkatkan produksi,” tutur Idoan.
Idoan menyebutkan bahwa industrinya juga belum ada fasilitas yang memproduksi material pendukung seperti baterai. Ditambah kesadaran masyarakat, yang motovasinya didasarkan pada alasan ekonomi dan informasi yang belum tersebar merata.
“Di tiga negara pembanding, alasan ekonomi bukan menjadi faktor untuk tidak memiliki kendaraan listrik. Tapi mereka lebih kepada persoalan performa atau tekbologinya,” ujar dia menambahkan.
Menanggapi studi tersebut Asisten Deputi Maritim dan Transportasi Kemenko Marves Firdausi Manti menerangkan, ketiga negara tersbut memang cukup dalam mengembangkan ekosistem kendaraan listrik. Terkait hal ini menurutnya, Indonesia memang harus belajar dengan negara tersebut.
Menurut Firdausi, dirinya dan pemerintah ingin semua stake holder mendukung pelaksaan penerapan kendaraan listrik. “Kami berharap, Indonesia tidak hanya sebagai pasar saja, tapi juga mendorong industri kendaraan listrik dalam negeri,” kata dia.