TEMPO.CO, Jakarta - Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) menemukan banyak kendala Indonesia dalam transisi dari kendaraan konvensional menjadi kendaraan listrik atau energi baru terbarukan, khususnya berkaitan dengan transportasi umum.
Direktur Eksekutif KPBB, Ahmad Safrudin mengatakan sampai saat ini tidak ada insentif fiskal yang dapat membuat pelaku usaha lebih gencar melakukan investasi terkait kendaraan listrik.
Pemerintah membebaskan tarif PPnBM mobil listrik atau 0 persen. Namun, mobil LCGC memiliki tarif pajak yang tidak terpaut jauh, yakni 3 persen.
Menurut Ahmad, kondisi tersebut akan kontra produktif dengan semangat proyek transportasi umum kendaraan listrik.
"Insentif pajaknya tidak jauh berbeda dengan kendaraan LCGC yang sebenarnya hanya beremisi rendah manipulatif," katanya dalam webinar KPBB seperti dikutip dari Bisnis hari ini, Senin, 6 September 2021.
Kementerian terkait, menurut dia, juga tidak cepat memfasilitasi aturan kuat untuk dapat menyukseskan program bus listrik ini. Perusahaan negara PT PLN (Persero) pun tidak memiliki tarif khusus untuk mobil listrik.
Menurut perhitungan KPBB, kendaraan listrik bisa memiliki tarif hingga Rp 700 per kw, dari tarif normal Rp 1.600 per kwh. Bahkan, seharusnya bus listrik mendapatkan diskon tambahan lagi 10 persen dari Rp 700 per kwh.
"PLN juga sebenarnya bisa mendapat untung penggunaan listrik lebih besar di kemudian hari. Namun, PLN justru tidak mau melihat potensi tersebut."
Kementerian Perindustrian berambisi memproduksi 2 juta unit mobil listrik atau kendaraan listrik, baik murni maupun hybrid, pada 2025. Target itu terdiri 400.000 unit mobil dan 1,76 juta sepeda motor.
BISNIS