TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah produsen otomotif mulai beralih menggunakan baterai Lithium Ferro-Phosphate (LFP) yang diklaim lebih memiliki kepadatan energi yang tinggi. Tesla menjadi pelopor penggunaan baterai jenis ini, dan sekarang beberapa pabrikan ikut menggunakan baterai LFP.
LFP dibuat menggunakan besi fosfat sebagai bahan katoda. Baterai jenis ini tidak lagi menggunakan bijih nikel seperti baterai Lithium-ion. Lantas, apakah penggunaan baterai LFP akan berdampak pada sumber daya nikel di Tanah Air?
Pengamat otomotif dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Yannes Martinus Pasaribu mengatakan bahwa baterai berbasis nikel masih banyak digunakan dalam industri kendaraan listrik. Kendaraan listrik yang membutuhkan jarak tempuh yang lebih jauh dan perlu akselerasi yang agresif, disebut masih memerlukan baterai yang berbahan baku nikel.
"Industri baterai tidak akan sepenuhnya beralih ke LFP. Ada permintaan yang beragam untuk berbagai jenis baterai, dan baterai berbasis nikel masih akan menjadi bagian penting, terutama untuk aplikasi pada mobil mewah, baterai gadget kita, kendaraan terbang dan banyak lagi produk berteknologi tinggi yang menuntut dimensi lebih ramping, lebih ringan dan memiliki sumber daya penyimpan energi yang ringkas berdaya simpan tinggi dan mampu di-fast charging," kata Yannes kepada Tempo.
Yannes menuturkan bahwa Indonesia bisa memanfaatkan posisinya sebagai produsen nikel terbesar untuk membangun industri baterai lokal yang kuat. Nikel ini tidak hanya untuk diekspor, lanjut dia, tetapi juga untuk membuat baterai berbasis nikel untuk berbagai produk elektronik lainnya.
"Dengan permintaan global untuk baterai berbasis nikel yang masih kuat, Indonesia dapat terus menjadi pemasok utama nikel untuk pasar global sekarang dan masa mendatang," ujarnya.
Cadangan Nikel di Indonesia
Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) mengungkapkan bahwa Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia pada 2022. Menyandang status tersebut, berapa sebenarnya volume cadangan nikel yang ada di Indonesia?
Dalam laporan USGS, jumlah produksi nikel di dunia pada 2022 diperkirakan mencapai 3,3 juta metrik ton (MT). Jumlah tersebut meningkat 20,88 persen bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang hanya tercatat sebanyak 2,73 juta metrik ton.
Indonesia berkontribusi sebanyak 1,6 juta metrik ton atau sekitar 48,48 persen dari produksi global keseluruhan. Tahun lalu, Indonesia juga memiliki cadangan nikel terbesar dengan jumlah 21 juta metrik ton, mengalahkan Australia di posisi kedua dengan jumlah 19 juta metrik ton.
Melansir mining-technology.com, GlobalData mencatatkan Indonesia mengalami peningkatkan output nikel sebesar 13 persen pada 2021. Jumlahnya diprediksi akan terus meningkat sebesar empat persen selama kurun waktu 2022 hingga 2026.
Nikel di Indonesia saat ini dikelola oleh empat perusahaan tambang nikel terkemuka di Tanah Air, yakni Sumitomo Metal Mining, PT Vale Indonesia Tbk, PT Antam (Persero) Tbk., dan Eramet.
Produksi nikel Sumitomo Metal Mining mengalami penurunan 5 persen selama periode 2020-2021. Begitu juga dengan Vale dan Antam yang masing-masing mengalami penurunan produksi 5 persen dan 0,58 persen selama periode yang sama.
Namun di kuartal pertama 2023, Vale Indonesia mencatatkan kenaikan jumlah produksi nikelnya. Perusahaan ini memiliki 118 ribu hektare tambang nikel yang tersebar di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Hingga saat ini, Vale telah menghasilkan nikel dalam matte sebanyak 16.769 ton atau naik 21 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, Eramet Indonesia melalui PT Weda bay Nickel, mencatatkan cadangan nikel sebesar 12,2 juta ton. Cadangan nikel Eramet ini rata-rata memiliki kandungan nikel sebesar 1,48 persen.
Pilihan Editor: Gibran Bilang Baterai Tesla Masih Pakai Nikel, Tak Ada yang Gunakan LFP?
Ingin berdiskusi dengan redaksi mengenai artikel di atas? Mari bergabung di membership.tempo.co/komunitas pilih grup GoOto