TEMPO.CO, Yogyakarta - Kecelakaan maut bus menabrak tebing di Bantul, Yogyakarta, Minggu, 6 Februari 2022, menewaskan 13 penumpangnya. Kecelakaan ini masih diselimuti berbagai pertanyaan soal dugaan penyebab kejadian.
Berbagai dugaan yang mencuat mulai dari sopir kurang menguasai medan yang banyak diselingi tanjakan dan turunan, mesin bus yang bermasalah, pengereman tak berfungsi baik, hingga soal jalur yang memang tak direkomendasikan untuk bus besar.
Sekretaris DPD Organisasi Angkutan Darat (Organda) DI Yogyakarta Didit Adi Prasetya menuturkan semua dugaan itu bisa jadi benar sebagai penyebab utama kecelakaan tersebut.
Namun Didit mengatakan, baginya hal yang krusial diperhatikan untuk mengantisipasi kecelakaan utamanya soal pentingnya mitigasi medan dan juga perawatan bus sehingga aman digunakan.
“Sopir atau kru bus perlu mitigasi jalur yang akan dilaluinya sehingga tahu kondisi medan dan juga tahu perawatan yang perlu disiapkan agar busnya siap guna operasi, bukan sekedar siap operasi,” kata Didit kepada Tempo Rabu 9 Februari 2022.
Didit yang juga Ketua Departemen Angkutan Dalam Trayek Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Organda itu menuturkan perawatan sebuah bus biayanya memang tak murah karena berkaitan keselamatan. Sebab ada 32 variabel komponen yang harus diperhatikan.
Merujuk kesaksian penumpang selamat serta keterangan yang dihimpun polisi sebelum bus kecelakaan, sopir dan kernet sempat menyinggung adanya persoalan filter bus yang bermasalah. Bus itu juga diketahui sempat tak kuat menanjak sehingga penumpang diturunkan sebelum naik kembali melintasi turunan.
Didit pun menjelaskan filter yang dimaksud dalam keterangan itu tak lain filter solar, yang berfungsi memberi kekuatan pada mesin bus khususnya saat melakukan tanjakan.
“Solar yang umumnya dipakai bus itu kan solar B30 yang memiliki komposisi nabati dari minyak sawit. Dalam suhu tertentu solar itu bisa berubah menjadi gel yang akhirnya bisa menyumbat filter dan menurunkan performa kendaraan,” kata Didit yang juga pendiri Perusahaan Otobus (PO) Maju Lancar yang berbasis di Gunungkidul Yogyakarta itu.
Filter solar ini, ujar Didit, idealnya diganti baru setiap bus sudah melakukan perjalanan 5.000 kilometer.
Dalam kecelakaan bus pariwisata itu, juga muncul dugaan pengereman tak berfungsi baik atau rem blong. Soal perawatan rem ini, Didit menuturkan, hal itu tak bisa dilakukan ala kadarnya mengingat sebuah bus besar dengan penumpangnya bisa memiliki bobot 15 ton.
“Sebagai komponen utama sistem perlamabatan, sistem pengereman ini menurut undang-undang resmi perlu diganti kanvasnya tiap 20.000 kilometer dengan catatan disc brake masih bagus,” kata dia.
Hanya saja, Didit mengingatkan, semua komponen untuk menunjang keselamatan bus ini biayanya memang tak murah. Misalnya untuk mengganti filter solar saja setidaknya perlu biaya Rp 500 ribu, untuk satu set sistem rem perlu biaya Rp 1,5 juta.
Umumnya biaya perawatan untuk bus ini sudah memakan 50 persen beban operasional, padahal di sisi lain penumpang sering mencari tarif bus yang murah. “Akhirnya dari perusahaan kadang ada yang nekat mengorbankan salah satu komponen perawatan untuk menekan beban operasionalnya, ini yang bahaya,” kata dia.
Didit pun mendorong masyarakat dalam menggunakan bus memperhatikan beberapa hal. “Selain pilih bus yang benar-benar berizin, juga jangan tergiur tarif murah,” kata dia.
PRIBADI WICAKSONO
Baca juga: Kecelakaan Maut di Bantul, Komunitas Buka Donasi Ban Bekas Pelindung Tebing
Ingin berdiskusi dengan redaksi mengenai artikel di atas? Mari bergabung di grup Telegram GoOto.