Ketentuan soal standar pelayanan minimal ini jadi jalan tengah pasca sejumlah pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) nomor 108/2017
dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA). Aturan yang dibatalkan MA diantaranya kewajiban uji KIR. Padahal uji KIR selama ini menjadi ruang pemerintah ikut mengatur dan mengontrol kendaraan angkutan yang beroperasi. Sehingga saat beleid uji KIR itu dihilangkan akhirnya digunakan standar pelayanan minimal.
Syafrin menambahkan Kementerian Perhubungan saat ini tengah maraton untuk mempersiapkan rencana peraturan menteri pengganti Permenhub 108 yang mengatur soal taksi online pasca putusan MA yang membatalkan sejumlah pasal.
Dalam rencana peraturan menteri yang disiapkan itu, Kementerian Perhubungan menyatakan tetap mencantumkan 6 prinsip standar pelayanan minimal bagi angkutan sewa khusus. Yakni standar keamanan, standar keselamatan, standar kenyamanan, standar keterjangkauan, standar kesetaraan dan keteraturan.
Dalam draft Permenhub yang baru, pemerintah juga menyepakati dikelolahnya angkutan sewa khusus (ASK) tidak dalam trayek atau angkutan online dikelola perorangan.
Baca: Wuling Confero Modifikasi Ini Biasa Dipakai untuk Taksi Online
“Pada dasarnya kami berupaya memperbaiki pasal-pasal (Permenhub 108) yang dibatalkan MA itu, uji publik ini salah satunya menjaring masukkan dari semua pemangku kepentingan,” ujarnya.
Selain soal standar pelayanan minimal, Kementerian Perhubungan juga memprioritaskan soal kuota taksi online yang beroperasi di suatu daerah dalam permenhub yang baru itu. Termasuk juga soal penetapan tarif batas atas dan batas bawah.
Syafrin menyatakan soal tarif, khusus angkutan sewa khusus yang melintasi dua provinsi dan diluar Jabotabek maka pengaturan tarif diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah dan disampaikan secara transparan.
"Kemenhub hanya membuat pedomannya soal tarif itu," ujarnya.
Dalam uji publik juga disinggung soal diperbolehkannya angkutan online dimiliki perorangan. Ini berbeda dengan Permenhub 108 yang mewajibkan angkutan online harus berbadan hukum.
“Mengacu pada UU Lalu Lintas Nomor 22 tahun 2009 angkutan umum angkutan orang hanya bisa dikelola oleh BUMN, BUMDes, Perseroan Terbatas dan Koperasi. Sekarang mengacu UU UMKM nomor 20/2008, perseorangan boleh memiliki armada angkutan online maksimal empat unit,” kata Syafrin.
Perwakilan Asosiasi Driver Online Fahmi Maharaja berharap selain masuknya kepemilikan armada secara perorangan. Pembentukan tim independent yang bertugas mengawasi dan memberi sanksi aplikator seharusnya juga harus diatur.
“Karena di lapangan selama ini terjadi banyak pelanggaran dari aplikator. Terutama soal potongan tarif yang mencapai 15-20 persen dari ongkos per kilometer. Padahal itu belum diatur oleh pemerintah,” katanya.
Fahmi berharap, dengan adanya perbaikan dalam regulasi ini, rekan-rekan sesama pengemudi angkutan online bisa menerima dan sesegera mungkin melakukan pendaftaran situs kementerian agar bisa memperoleh izin badan usaha perorangan.